Pembangunan megaproyek infrastruktur kerap dielu-elukan sebagai mesin pertumbuhan ekonomi dan penciptaan lapangan kerja. Namun, di balik gemerlap janji tersebut, tersembunyi Sisi Gelap Proyek yang jarang terekspos, yakni terpinggirkannya tenaga kerja lokal. Ironisnya, di tengah hingar-bingar alat berat dan material impor, warga sekitar lokasi pembangunan justru kesulitan mendapatkan pekerjaan, bahkan untuk posisi non-teknis. Kontraktor yang cenderung membawa tenaga kerja dari luar daerah atau bahkan luar negeri dengan alasan efisiensi dan kualifikasi, secara efektif menutup peluang warga lokal untuk berpartisipasi dan meraih Kemandirian Finansial.

Kasus ini jelas terlihat dalam pembangunan Kawasan Industri Terpadu (KIT) seluas 500 hektar yang dimulai sejak Januari 2024. Warga Desa Karanganyar, yang lahannya banyak digunakan untuk proyek ini, melaporkan bahwa dari 300 pekerja kasar yang terlihat di lapangan, kurang dari 10% yang berasal dari desa mereka. Bapak Supriadi (45 tahun), mantan petani yang kini menganggur, menceritakan pengalamannya. “Saya sudah mencoba melamar sebagai pekerja umum sejak tiga kali. Selalu ditolak dengan alasan ‘belum ada kebutuhan’ atau ‘tidak memenuhi standar kesehatan kerja’. Padahal, kami hanya ingin pekerjaan kasar seperti mengangkat semen atau membersihkan lokasi,” keluh Bapak Supriadi saat ditemui di Balai Desa pada Selasa, 8 Oktober 2024.

Permasalahan ini bukan sekadar masalah teknis rekrutmen, tetapi menyentuh aspek implementasi regulasi. Berdasarkan Peraturan Daerah (Perda) No. 7 Tahun 2023 tentang Ketenagakerjaan Lokal, setiap proyek pembangunan yang diselenggarakan di daerah wajib mengalokasikan minimal 40% dari total kebutuhan tenaga kerja non-spesialis untuk warga lokal. Namun, pengawasan terhadap kepatuhan aturan ini terbilang lemah. Kepala Dinas Tenaga Kerja (Disnaker), Bapak Dr. Handoko, M.Si., mengakui adanya gap antara regulasi dan implementasi. “Kami telah mengirimkan surat peringatan keras kepada PT. Mitra Jaya Kontruksi selaku kontraktor utama pada Jumat, 4 Oktober 2024. Kami menduga ada manipulasi data rekrutmen untuk menyembunyikan Sisi Gelap Proyek ini, di mana mereka melaporkan pekerja luar daerah sebagai warga lokal,” jelas Dr. Handoko. Pihak Disnaker berjanji akan melakukan inspeksi mendadak pada Senin, 14 Oktober 2024, didampingi tim pengawas dari Satuan Polisi Pamong Praja (Satpol PP) untuk memverifikasi domisili pekerja secara faktual.

Sisi Gelap Proyek ini juga diperparah oleh rendahnya komitmen perusahaan dalam memberikan pelatihan keahlian (up-skilling) kepada warga lokal. Banyak kontraktor yang enggan menginvestasikan waktu dan biaya untuk melatih warga setempat, padahal pelatihan tersebut adalah kunci untuk memastikan partisipasi dan keberlanjutan ekonomi daerah. Tanpa pelatihan yang memadai, tenaga kerja lokal akan terus terpinggirkan, dan proyek pembangunan yang seharusnya membawa kemajuan justru menciptakan kesenjangan sosial yang semakin lebar. Untuk itu, tekanan dari komunitas dan pengawasan ketat dari pemerintah diperlukan agar janji pembangunan benar-benar memberikan manfaat nyata, mengantarkan setiap keluarga pada Kemandirian Finansial yang diidamkan.